Kampanye adalah upaya mempropagandakan partai dan program-programnya dalam rangka menarik dukungan dan simpati masyarakat. Kampanye merupakan bagian penting dalampercaturan politik. Melalui kampanye, suatu partai dapat memperkenalkan programprogramnya, sekaligus dapat menarik simpati pemilih agar memberikan hak suara dan dukungan mereka kepada partai tersebut.
Etika Politik
Masa kampanye pilpres akan menjadi ujian, apakah kita memang layak menyebut diri sebagai bangsa yang religius, bersopan-santun, bermartabat dan berkeadaban. Peran positif para pemimpin/tokoh agama-agama dan para cendekiawan amat diharapkan untuk mencerahkan dan mendidik rakyat pemilih untuk memilih dengan 3N. Tidak hanya Naluri, melainkan terutama dengan Nalar dan Nurani. Amin Rais menjadi contoh memilih dengan naluri, ketika menganjurkan untuk memilih capres yang gagah dan kaya. Anis Baswedan menjadi contoh memilih dengan nurani ketika menganjurkan untuk memilih orang baik, jujur, sederhana. Ketiga-N adalah anugerah Sang Pencipta yang harus kita gunakan dengan penuh tanggungjawab. Namun yang membedakan manusia dari hewan adalah nalar dan nurani. Dalam rangka itulah penulis mengutip penegasan Paus Yohanes Paulus II “7 prinsip etika politik” yang sebenarnya dapat kita temukan dalam berbagai nilai-nilai budaya dan kerarifan lokal kita. Ketujuh prinsip itu adalah kebaikan hati, keberpihakan pada kehidupan, kesejahteraan umum, subsidiaritas, solidaritas, hak-hak azasi manusia, dan penolakan kekerasan. Ketujuh prinsip etis itu kita temukan juga dalam Pancasila sebagai panduan etik hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam pesta demokrasi yang akan berlangsung tidak lama lagi, pelanggaran-pelanggaran oleh tim sukses yang hendak berkampanye bagi pasangan tertentu, sebisa mungkin harus dihindari. Apalagi kalau pelanggaran kampanye dilakukan oleh pejabat negara yang berupaya menarik simpati massa dengan menghalalkan segala cara tanpa mengikuti aturan yang berlaku. Padahal bila kita mengacu pada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, dijelaskan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa dilarang membuat keputusan atau tindakan yang mengungtungkan dan merugikan salah satu pasangan selama masa kampanye.
Persoalan pelanggaran dalam kampanye sebisa mungkin menjadi perhatian dari Bawaslu yang memiliki wewenang untuk mengawasi atribut kampanye oleh partai politik tertentu. Dalam menghadapi pesta demokrasi seperti Pilpres, Bawaslu perlu memberikan peringatan keras kepada tim kampanye masing-masing calon yang melanggar tata cara kampanye sesuai dengan Undang-Undang sehingga tindakan pelanggaran tidak merajalela pada saat Pemilu berlangsung. Pengawasan ketat dimaksudkan untuk menciptakan iklim demokrasi dalam Pemilu yang sesuai dengan harapan rakyat dan memberikan angin segar bagi terbangunnya kepemimpinan ideal di masa depan.
Berbagai bentuk pelanggaran kampanye tersebut setidaknya harus ditindaklanjuti secara serius oleh Bawaslu yang bertanggung jawab langsung guna memberikan pengawasan secara ketat terhadap pasangan calon yang melakukan tindakan indisipliner. Jika tidak, pesta demokrasi dalam Pemilu akan tercoreng oleh tindakan semena-mena tim sukses yang seringkali mengabaikan cara berkampanye yang santun dan elegen.
Menghindari Politik Machiavellis
Pemilu 2014 bisa menjadi momentum luar biasa untuk menata demokrasi menuju Indonesia baru. Pemilu tidak boleh hanya dijadikan tujuan untuk menarik simpati massa agar memperoleh kemenangan dalam pesta demokrasi, melainkan juga menjadi momentum untuk mensosialisasikan pendidikan politik bagi warga masyarakat yang belum mengerti tentang dinamika politik nasional, terutama ketika pemilihan umum berlangsung. Cara-cara licik dan keinginan untuk menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan sesaat harus dihindari sebisa mungkin oleh setiap pasangan calon.
Bila kita amati lebih mendalam, dinamika politik di negeri ini sudah terjebak pada platform “politik untuk kekuasaan”. Artinya, politisi kita seringkali memanfaatkan kendaraan politik hanya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan semata, sementara nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi malah diabaikan. Tidak heran bila filsafat Machiavelli patut menjadi refleksi kita tentang sang penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mengintimidasi publik agar bertekuk lutut pada keinginan kekuasaan yang dikendalikan oleh penguasa tamak, licik, rakus, dan banal.
Kita tidak bisa membayangkan betapa menonjolnya penguasa dan politisi negeri ini yang mengamalkan gagasan-gagasan Machiavelli. Pertama, dalam rangka meraih kekuasaan, Machiavelli mengajarkan bahwa seseorang yang ingin meraih kekuasaan (tujuan), cara apapun bisa digunakan (the ends justify the means). Kedua, dalam rangka mempertahankan kekuasaan, Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia– tulus, penyayang, baik, pemurah– tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tidak terpuji, jahat, kikir, licik, bengis dan kejam. (Machiavelli, The Art of War, 2002).
Dalam kondisi demikian, politik Machiavellis sebisa mungkin harus dihindari demi menuju Indonesia baru yang terlepas dari sifat kerakusan penguasa di negeri ini. Hal ini disadari karena politik Machiavellis ternyata sering digunakan oleh sebagian politisi dan pejabat pemerintahan yang menduduki posisi strategis. Kita bisa mengambil contoh dalam Pemilu yang kerapkali diwarnai oleh tindakan intimidatif dan maraknya politik uang (money politic) yang bisa menghancurkan tatanan demokrasi kita. Maraknya politik uang semakin memberikan bukti nyata bahwa kendaraan politik hanya digunakan untuk merengkuh kekuasaan, sementara kepentingan masyarakat yang lebih besar malah dikesampingkan.
Cermin politik Machiavellis tidak hanya berkutat pada persoalan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai moralitas yang menjadi pijakan dalam berdemokrasi. Menurut ajaran Machiavellis, penguasa tak perlu mempertimbangkan nilai-nilai moralitas untuk meraih kekuasaan, karena penguasa yang cerdik dan licik dapat menyingkirkan pesaing yang potensial untuk tampil sebagai pejabat pemerintahan. Politik Machiavellis bisa saja terlihat menunjukkan tindakan moralitas, semisal murah hati, jujur, adil, dan merakyat, namun tindakan itu hanya bersifat artifisial yang menyimpan imaji-imaji kosong dan nihil. (Kompas, 14/5/2010).
sumber: